HARMONIS : Charles bersama isteri Yenny Yaw, yang dianugerahi tiga anak, William Chandra, Unita Chandra dan Jimmy Chandra
Selama 41 tahun konsisten menjalankan bisnis di bidang transportasi bus, tentu bukan perkara mudah. Apalagi usaha yang menyangkut pelayanan umum dan hajat hidup orang banyak, yang kerap berbenturan dengan bermacam masalah. Namun sosok pengusaha satu ini berhasil menjalaninya. Bahkan ia kemudian terjun di kontraktor tambang batubara hingga merambah ke bisnis perhotelan.
APINDOKALTIM.COM – Darah bisnis atau bakat berdagang, tampaknya diwarisi Charles dari kakek dan orang tuanya. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini, sejak usia 8 tahun sudah terlibat membantu usaha yang dirintis orang tuanya.
“Kebetulan, ayah saya saat itu mengelola usaha bengkel dan punya usaha taksi jamban. Jadi, keluarga kami terlibat membantu ayah, dimana saat itu usaha bengkel memang lagi bagus-bagusnya” kenang pengusaha pengusaha kelahiran Balikpapan, 9 Juli 1959 ini.
Ia bersukur, dari kakek dan ayahnya, dirinya diajari berbagai strategi dalam mengelola usaha. Khususnya, yang berkaitan dengan melayani kepentingan konsumen. Apalagi, usaha ayahnya bersentuhan langsung dengan jasa dan pelayanan masyarakat.
Bisa disebut, sudah lima generasi keluarga besar Charles, lahir dan tumbuh di Balikpapan. Mulai kakek, ayah dan dirinya, bahkan kini turun ke anak-anak dan cucunya. Selama puluhan tahun itu pula, keluarga besar Charles, ikut berperan dalam memberi kontribusi positif bagi pembangunan di Balikpapan dan Kaltim pada umumnya.
Salah satunya, usaha jasa transportasi bus antar kota dalam provinsi, melalui Perusahaan Otobus (PO), yang dia kelola sejak tahun 1979 hingga saat ini.
Awalnya kata Charles, usaha bus yang dikelola memang tidak langsung besar. Semula hanya memiliki 1-2 unit armada, usaha
terus berkembang hingga punya 120 unit armada. Yang dilayani, rute antar kota di Kalimantan. Mulai rute Balikpapan`- Samarinda, Bontang, hingga Balikpapan – Banjarmasin, pergi – pulang (PP). “Saya makin serius mengelola usaha bus, ketika berhasil mendirikan perusahaan PT. Samarinda Lestari Transport, pada tanggal 20 September 1983,” ucapnya.
Tentu, beragam masalah ia hadapi saat menjalani usaha yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak ini. Mulai urusan armada, menangani sopir hingga pelayanan ke masyarakat. Ini, belum termasuk kompetisi yang cukup ketat di usaha bus kala itu, dimana perusahaan sejenis juga mulai bermunculan.
“Jatuh bangun dan jungkir balik dalam mengurusi bisnis bus ini pernah saya alami. Tapi ada kepuasan batin yang luar biasa. Karena kami bisa bertahan puluhan tahun melayani jasa angkutan umum semacam ini,” ujar suami dari Yenny Yaw dan ayah tiga anak ini.
Bisnis transportasi bus, dipandang Charles juga tidak semata mengejar profit (keuntungan). Namun, lebih banyak pula bersentuhan dengan aspek sosial. Tidak jarang, di waktu-waktu tertentu, armada busnya juga dipinjam berbagai instansi dan lembaga.
“Ketika hal ini terjadi, tentu kami tidak bisa bicara untung rugi. Namun, bisa berbagi dan melayani keperluan masyarakat semacam itu, adalah kepuasan yang tidak bisa diukur dengan uang,” sebutnya.
Atas konsistensinya dalam pengelolaan usaha bus ini pula, Charles dan perusahaannya, tiap tahun diganjar penghargaan dari Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. “Tentu, kami tidak semata melihat penghargaan dari pemerintah. Karena semua berpulang pada kesimpulan, kami bisa seperti ini juga berkat dukungan masyarakat (konsumen), yang selalu setia menjadi pelanggan bus kami,” ungkapnya.
Booming atau masa-masa keemasan usaha bus yang dirintisnya, sebut Charles, terjadi kurun waktu tahun 1995 – 2000. Situasi ini, ditunjang maraknya pembukaan area kebun sawit di sejumlah lokasi di Kaltim dan Kalimantan.
Ketika kebun sawit ramai, pekerja yang didatangkan dari Jawa dan luar daerah, juga banyak. Pekerja inilah, yang jadi salah satu konsumen terbesar yang dilayani armada bus Charles.
Situasi mulai menurun, ketika terjadi resesi ekonomi di tahun 2001. Di saat yang sama, terjadi perubahan yang cukup signifikan di kebiasaan masyarakat (konsumen).
Dimana, orang yang tadinya tidak banyak memiliki kendaraan sepeda motor dan mobil pribadi, belakangan dengan gampang membelinya—karena berbagai kemudahan yang ditawarkan dealer dan leasing (lembaga pembiayaan kredit). Kondisi ini, juga berdampak besar untuk sebagian besar usaha bus di Kaltim termasuk dirinya.
KONTRAKTOR TAMBANG
Namun, naluri Charles sebagai pembisnis kembali teruji. Tanpa harus menutup usaha bus yang dia rintis bertahun-tahun, Charles justru merambah ke sektor tambang batubara.
Tapi, ia tidak terlibat membuka usaha tambang sendiri, melainkan melayani perusahaan tambang yang mengalami masa booming di tahun 2002 – 2003. Lalu, lahirlah PT. Mitra Indah Lestari, dengan spesialisasi melayani rental alat berat dan sub kontraktor tambang batubara.
“Saya lalu membuka usaha persewaan atau rental alat berat untuk tambang. Sejak tahun 2005, mulai membeli berbagai mesin alat berat. Lama-lama, alat berat yang saya miliki terus bertambah banyak dan akhirnya membuat kami memutuskan jadi sub kontraktor perusahaan tambang hingga tahun 2008,” katanya.
Di tahun 2009, perusahaan Charles akhirnya berubah menjadi kontraktor tambang batubara. Hanya saja, karena mengaku tidak punya hoki (keberuntungan) untuk membuka izin kuasa pertambangan (KP) sendiri, Charles tetap konsisten sebagai kontraktor tambang saja.
Ia punya perhitungan, dengan menjadi kontraktor tambang, ia bisa meminimalisir cost (biaya operasional). Tapi sebaliknya, lewat usaha kontraktor tambang ini, ia bisa merekrut cukup banyak tenaga kerja lokal, seperti dari Balikpapan, Samarinda dan Tenggarong.
Belakangan, feeling bisnis Charles terbukti. Ketika masa-masa keemasan sektor tambang batubara mulai meredup dan di tahun 2015 ini memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dimana-mana, usaha Charles tetap bertahan.
“Sampai sekarang, perusahaan saya tidak mem-PHK satu orangpun pegawai. Karena secara bisnis, kami tidak mengalami kerugian besar, jika dibandingkan pengusaha yang memiliki izin KP tambang batubara sendiri,” tuturnya.(*/bersambung)