Ketua APINDO Kaltim Slamet Brotosiswoyo bersama Wakil Ketua Dr. Abriantinus (kiri) dan Sekretaris, H. Soegianto (kanan)  

APINDOKALTIM.COM – Rencana DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) mendapat kritik para pelaku usaha. Salah satu aturan yang ditentang ialah pemberian cuti selama 6 bulan bagi perempuan pekerja yang melahirkan. Serta cuti 40 hari bagi pekerja laki-laki untuk mendampingi istrinya yang melahirkan.

Aturan itu dinilai pengusaha akan menurunkan produktivitas pekerja, yang akan berdampak terhadap kelangsungan usaha.  Apalagi, saat ini dunia usaha baru mulai bangkit setelah dua tahun lebih dihantam pandemi.

“Pengusaha di daerah ini baru mulai bangkit, artinya janganlah terlalu banyak dibebani hal-hal yang membuat pengusaha lemah daya saingnya,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kalimantan Timur, Slamet Brotosiswoyo, Jumat (1/7/2022). Slamet menekankan jangan sampai undnag-undang untuk pengusaha dipolitisasi.

“Jangan sampai UU untuk pengusaha dipolitisir!” tegasnya.

Slamet menambahkan, cuti 6 bulan tidak hanya akan berdampak pada pengusaha besar. Pengusaha menengah ke bawah bakal terpukul karena produktivitas mereka akan menurun. “Kalau tidak ada produksi lalu tetap membayar  selama 6 bulan, mungkin tidak akan berpengaruh besar apabila untuk 1, atau 2 orang pekerja,” imbuhnya.

Namun demikian, pengusaha tetap menanggung beban ganda. Karena mau tak mau mereka harus mengeluarkan biaya pekerja pengganti, plus gaji pekerja yang cuti harus tetap dibayarkan.

“Memang kalau berkaca dari negara maju, seperti itu boleh saja. Yang pelru diingat Indonesia ini masih (negara) berkembang, jangalah sekadar ikut-ikutan. Kita harus punya pendirian,” imbuh Slamet lagi.

Ia juga mengkritik bahwa peraturan yang dibuat untuk kalangan pengusaha, tidak melibatkan unsur pelaku usaha. “Kalau sampai UU menyatakan begitu, harusnya konsultasi dengan unsur pengusaha, supaya mendapat masukan dari pengusaha,” jelasnya.

“Kalau BUMN tak masalah, itu yang gaji pemerintah,” ucap Slamet lagi.

Bagi pengusaha swasta, aturan itu akan menjadi beban berat. Apalagi saat ini pengusaha juga menanggung berbagai pajak dan jaminan sosial pekerja.

“Untuk jaminan sosial tak masalah, karena sudah menjadi tanggung jawab pengusaha melindungi pekerja. Apalagi, pemerintah juga ikut menanggung melalui BPJS.  Namun kalau cuti sampai 6 bulan sangat membebani,” kata Slamet.

“Saya juga sempat bicara dengan beberapa pekerja bagaimana tanggapannya, ternyata cuti selama 6 bulan juga tidak membuat mereka happy. Terlalu lama,” ujar Slamet lagi.

Ia meminta pemeirntah tidak terlalu memanjakan pekerja. Slamet membandingkan dengan ibu rumah tangga yang berdagang mandiri, atau perempuan di pasar yang tak sampai 6 bulan bekerja setelah melahirkan.

“Saya khawatir kalau istri cuti 6 bulan dan suami cuti sampai 40 hari bisa-bisa melahirkan lebih cepat lagi,” ungkap Slamet.

Ia lebih mendorong pemerintah dan DPR mengeluarkan aturan yang menjamin rasa keadilan masyarakat. “Rasa keadilan harus ditanamkan segala sesuatu. Adil bagi pengusaha, adil bagi pekerja dan adil kepada kondisi,” kata Slamet menambahkan.

Ia menilai cuti 3 bulan bagi pekerja perempuan yang hamil sudah ideal. Jika undang-undang itu dipaksakan, Apindo khawatir pengusaha tidak akan menggunakan jasa pekerja perempuan. Terkait UU itu, APINDO Kaltim akan menyampaikan masukan kepada DPRD Kaltim, agar memberikan masukan ke pusat.

Sebelumnya Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APINDO secara resmi mengajukan surat tanggapan DPR terkait RUU KIA, salah satunya soal bertambahnya hak cuti bagi perempuan hamil dan melahirkan.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum APINDO Hariyadi Sukamdani itu, mereka dengan tegas keberatan dengan RUU KIA. Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang, salah satunya mengecilnya kesempatan kerja untuk perempuan.

“Data BPS tahun 2021 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan sebesar 53,34% adalah masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan TPAK laki laki sebesar 82,27%. Dengan penambahan waktu istirahat melahirkan menjadi 6 (enam) bulan dan kesempatan suami menampingi istrinya sampai 40 (empat puluh) hari dikhawatirkan akan kontra produktif terhadap upaya perluasan kesempatan kerja perempuan,” kata Hariyadi Sukamdani.

Ia menilai penambahan hari istirahat melahirkan dan pendampingan ini harus dilihat secara komprehensif karena di satu sisi memang memberikan perlindungan yang maksimal bagi pekerja perempuan.

“Namun di sisi lain akan memperlemah posisi tawar pekerja perempuan di tempat kerja. Pada perkembangan selanjutnya, dikhawatirkan akan mendorong pengusaha mempercepat langkah otomatisasi di perusahaannya, yang tentunya berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja,” katanya.

Faktor lain yang menjadi keberatan adalah soal kekosongan tenaga kerja akibat kebijakan ini bila berlaku nantinya. Semakin lama cuti, maka semakin lama juga posisi tersebut kosong. Akibatnya, perusahaan perlu mengeluarkan uang lebih untuk menambalnya.

“Pemberian tambahan hari istirahat melahirkan menjadi 6 (enam) bulan, tidak dapat dilihat hanya dari sisi pembayaran upah pada saat pekerja perempuan tersebut tidak bekerja. Pada saat yang sama, pengusaha harus mempekerjakan tenaga kerja lain untuk mengisi kekosongan agar proses produksi dapat terus berlangsung,” sebut Hariyadi Sukamdani.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *