Muhammad Zikra

Oleh: Muhammad Zikra

Praktisi HR, Pembicara Hubungan Industrial,Trainer dan Advokat

 

Sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di ruang lingkup kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat KEMNAKER), Direktur Jendral Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran nomor                                          B-855/PK.01/IV/2020 (selanjutnya disebut SE DIRJEN) tentang Penghentian Sementara Penempatan Tenaga Kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD). Secara esensi, SE DIRJEN tersebut menyampaikan 4 hal sebagai berikut:

  1. Meminta agar perusahaan pengguna tenaga kerja AKAD dan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) melakukan penghentian sementara penempatan tenaga kerja AKAD.
  2. Bagi tenaga kerja AKAD yang akan menggunakan hak cuti agar ditunda pelaksanaannya sehingga tenaga kerja yang bersangkutan tetap tinggal di asrama dan tidak bepergian ke luar daerah.
  3. Bagi tenaga kerja AKAD yang telah habis masa kontrak pada tahun pertama dan telah diperpanjang pada tahun kedua, apabila perusahaan pengguna masih memerlukan tenaga kerja tersebut, maka dapat dilakukan perpanjangan kontrak kerja berikutnya dengan ketentuan yaitu dilakukan perpanjangan masa kontrak dengan perjanjian kerja baru dan perusahaan harus tetap memperhatikan protokol kesehatan COVID-19.
  4. Apabila Tenaga Kerja AKAD sudah menyelesaikan tugas dan tanggung jawab di perusahaan dan perusahaan tidak membutuhkan tenaga kerja tersebut, maka perusahaan pengguna atau LPTKS dapat memulangkan tenaga kerja tersebut sesuai dengan protocol COVID-19 yang berlaku.

 

Dari ke-4 esensi kesimpulan SE DIRJEN tersebut diatas, ada hal menarik yang dapat kita bahas yaitu mengenai kutipan kalimat pada angka 4 dan huruf (a) yang berbunyi: “Bagi tenaga kerja AKAD yang telah habis masa kontrak pada tahun pertama dan telah diperpanjang pada tahun kedua, apabila perusahaan pengguna masih memerlukan tenaga kerja tersebut, maka dapat dilakukan perpanjangan kontrak kerja berikutnya dengan ketentuan: a. Dilakukan perpanjangan masa kontrak dengan perjanjian kerja baru.”.

 

Menanggapi kutipan kalimat pada angka 4 tsb, berikut pembahasannya :

  • Seacara normatif dan penggunaan bahasa/redaksional, ketentuan angka 4(a) tersebut belum memberikan kejelasan, apakah perjanjian kerja yang dimaksud di perpanjang atau di perbaharui. Jika diperhatikan dari segi redaksional, dalam kutipan angka 4 pada SE DIRJEN no B-855/PK.01/IV/2020 tersebut, tertuliskan “…maka dapat dilakukan perpanjangan kontrak kerja berikutnya dengan ketentuan: Dilakukan perpanjangan masa kontrak dengan perjanjian kerja baru;….”

Dari kutipan frasa kalimat tersebut, tidak ada konsistensi antara pilihan yang diberikan oleh DIRJEN, apakah kontraknya di perpanjang atau di perbaharui, mengingat dalam pasal 59 UU 13 tahun 2003 Juncto KEPMENAKERTRANS No: KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, hanya memberikan 2 mekanisme durasi dalam kontrak kerja yaitu yang pertama dengan cara melalui di perpanjang, atau yang kedua yaitu dengan cara di perbaharui. Mari kita kembali kepada redaksional yang tercantum pada SE DIRJEN tersebut, redaksional ”perpanjangan kontrak”  dan redaksional “dengan perjanjian kerja baru” tersebut akan  berpotensi membingungkan para pemangku kepentingan, termasuk para praktisi HR yang sudah memahami bahwa antara perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja merupakan 2 peristiwa hukum yang berbeda, sementara pada SE DIRJEN tersebut sekan-akan malah “mencampur adukan” atau mempersamakan antara di perpanjang atau di perbaharui.

Mari kita analisa lebih mendalam lagi apakah yang dimaksud SE DIRJEN tersebut kontrak yang di perpanjang atau kontrak yang di perbaharui dengan kondisi sebagai berikut:

  1. Apabila yang dimaksud oleh SE DIRJEN tersebut adalah perpanjangan kontrak, maka hal ini menjadi bertentangan dengan pasal 59 ayat 4 UU 13 tahun 2003 juncto pasal 8 ayat 2 KEPMENAKERTRANS No: KEP.100/MEN/VI/2004, yang menyatakan bahwa perjanjian kerja hanya boleh di perpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun, sementara dalam SE DIRJEN tersebut malah memperbolehkan dilakukannya perpanjangan yang kedua kalinya dengan cara membuat perjanjian kerja baru. Kemudian;
  2. Apabila yang dimaksud oleh SE DIRJEN tersebut adalah pembaharuan kontrak, maka hal ini juga bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003 tepatnya pasal 59 ayat 3, yang menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat di perpanjang atau di perbaharui.                                                                                  Dalam ketentuan ayat 3 pasal 59 terdapat redaksional kata penghubung “atau” yang bermakna unsur alternatif, bukan unsur kumulatif, dalam artian bahwa secara normatif hanya diberi 2 pilihan yaitu apakah PKWT tersebut di perpanjang atau di perbaharui, bukan malah kedua-duanya (di perpanjang dan diperbaharui), lain hal jika redaksional yang tertulis pada ayat 3 pasal 59 tersebut adalah misal “…di perpanjang dan di perbaharui”,                                                                                                                                              sehingga barulah dapat kita simpulkan PKWT dapat diperpanjang dan dapat juga diperbaharui, sekali lagi sayangnya yang dimaksud ayat 3 pasal 59 tersebut adalah unsur alternatif (pilihan), bukan unsur kumulatif (gabungan atau kumpulan).                                                                                                                                    Mengenai dasar hukum yang menguatkan perbedaan redaksional “atau” dengan “dan” (perbedaan alternatif dengan kumulatif), kita dapat mengacu ke UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tepatnya dalam lampiran II huruf C angka 88 dan 89 dan dasar hukum lainnya adalah disemua pasal yang ada di KEPMENAKERTRANS No: KEP.100/MEN/VI/2004 tidak ditemukan satupun pasal atau ayat yang menyatakan bahwa Perpanjangan PKWT dan Pembaharuan PKWT, kedua-duanya dapat dilakukan. Silahkan sama-sama kita baca kedua regulasi tersebut ya sebagai tambawhan wawasan kita.                                                                                                                                                                                                                                                Setelah kita telaah penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa SE DIRJEN mengenai khusus angka 4 huruf (a) mengenai pengaturan perpanjangan masa kontrak dengan perjanjian kerja baru bagi perusahaan pengguna yang masih memerlukan tenaga kerja tersebut, menurut penulis adalah bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur di pasal 59 UU 13 tahun 2003 juncto KEPMENAKERTRANS No: KEP.100/MEN/VI/2004.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Penulis memahami bahwa ketentuan dalam SE DIRJEN tersebut lahir dikarenakan adanya kondisi pandemi COVID-19, namun walaupun demikian kita mesti berhati-hati dalam menelaah suatu aturan termasuk dalam hal mekanisme PKWT. Menyikapi aturan mana yang harus kita pilih, maka menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tepatnya pasal 8 juncto pasal 7, maka Undang-Undang lebih tinggi dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah dalam hal ini Peraturan Menteri, apalagi jika dibandingkan dengan SE DIRJEN di Kementerian. Disisi lain banyak para ahli berpendapat bahwa suatu surat edaran tidaklah bersifat mengikat, melainkan hanya bersifat himbauan.

Sebagai penutup, setidaknya ada solusi atau saran terkait persoalan kontradiksinya SE DIRJEN tersebut dengan UU 13 tahun 2003 dan KEPMENAKERTRANS No: KEP.100/MEN/VI/2004 dalam hal perusahaan pengguna masih memerlukan tenaga kerja , yaitu berupa Saran dari sisi normatif dengan menggunakan tenaga kerja baru yang berasal dari warga lokal dimana perusahaan tersebut berdomisili sehingga memang benar-benar lahir peristiwa hukum baru yaitu adanya perikatan PKWT pertama untuk pekerja baru, namun apabila langkah ini tidak juga dapat dilakukan dan perusahaan masih memerlukan pekerja AKAD tersebut, maka sebaiknya dibuat kesepakatan bersama/ perjanjian bersama antara pengusaha dengan pekerja/serikat pekerja bahwa dengan adanya latar belakang force majeur ini (pandemi COVID-19), PKWT-nya menerapkan pembaharuan PKWT. Berceritalah dalam pasal-pasal di perjanjian bersama tersebut bahwa latar belakangnya karena pandemi, demi menyelamatkan semua pihak, dan pekerja AKAD tersebut juga diuntungkan dari segi ekonomi karena masih bekerja lagi.

 

Sekian dan terimakasih, semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *