Ketua DPP APINDO Kaltim, Slamet Brotosiswoyo 

 

APINDOKALTIM.COM – Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia Kalimantan Timur (DPP APINDO KALTIM) mendesak pemerintah membatalkan Permenaker 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Peraturan yang ditetapkan Jumat 16 November 2022 dan diundangkan sehari kemudian, memuat pasal kontroversial. Yaitu klausul tentang kenaikan upah minimum 2023 maksimal sebesar 10 persen.

Ketua DPP APINDO Kaltim, Slamet Brotosiswoyo mengatakan, Permenaker tersebut memuat formula penghitungan upah yang bertentangan dengan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Ini mencerminkan tidak adanya kepastian hukum yang berujung ketidakpastian usaha. Apalagi, Dewan Pengupahan Kaltim telah mengirimkan rekomendasi besaran UMP 2023 kepada Gubernur,” ujar Slamet. “Karena itu, APINDO Kaltim mendesak pemerintah membatalkan Permenaker 18 Tahun 2022,” tegasnya.

Permenaker 18 Tahun 2022, menekankan penyesuaian nilai upah minimum untuk 2023 dihitung menggunakan formula penghitungan dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.

Pasal 7 tertulis bahwa penetapan atas penyesuaian nilai upah minimum tidak boleh melebihi 10 persen. Selain itu, dalam hal hasil penghitungan penyesuaian nilai upah minimum melebihi 10 persen, Gubernur menetapkan upah minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen.

Jika pertumbuhan ekonomi bernilai negatif, penyesuaian nilai upah minimum hanya mempertimbangkan variabel inflasi.

Sementara PP 36/2021, penentuan Upah Minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Dengan memerhitungkan batas atas dan bawah upah minimum.

Dengan formula rumus batas atas: sama dengan rata – rata konsumsi per kapita(t) x rata – rata banyaknya ART(t))/ rata – rata banyaknya ART bekerja pada setiap rumah tangga(t)

Sedangkan rumus batas bawah sama dengan Batas atas UM(t)x 50%. Sehingga rumus Upah Minimum yang akan ditetapkan, UM(t+1)= UM(t)+{Max(PE(t),Inflasi(t))x (Batas atas(t) – UM(t) / Batas Atas(t) – Batas Bawah(t)) x UM(t)}.

Kembali Slamet mengatakan, keberadaan Permenaker tersebut menabrak peraturan di atasnya yang lebih tinggi, yakni PP 36 Tahun 2021.

“Kalau aturan lebih tinggi bisa dilawan oleh aturan di bawahnya, ini sangat berbahaya. Tidak ada kepastian hukum. Besok–besok bisa saja Keputusan Gubernur dilawan Keputusan Bupati dan seterusnya,” imbuh Slamet.

Salah satu yang dikhawatirkan para pengusaha ialah adanya selisih UMP yang tinggi antardaerah. Formula baru itu disebut Slamet sangat aneh, karena daerah yang sudah memiliki UMP tinggi bakal merasakan kenaikan lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang pertumbuhan ekonominya minus.

Slamet mengingatkan ancaman resesi global tahun 2023, dimana kemungkinan akan berimplikasi pada industri berorientasi ekspor. Apalagi, dunia usaha di Kalimantan Timur baru saja pulih akibat pandemi Covid-19.

Slamet menambahkan, dengan ketidakpastian aturan ini, banyak pelaku usaha mulai berpikir menutup usaha, atau melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. (*)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *