Ketua APINDO Kaltim, Slamet Brotosiswoyo menjadi narasumber Seminar Ketenagakerjaan, mengupas Perppu Ciptaker
APINDOKALTIM.COM – Ketua APINDO Kaltim, Slamet Brotosiswoyo menjadi salah satu narasumber pada Seminar Ketenagakerjaan yang mengupas Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Pengganti UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja.
Kegiatan itu juga menghadirkan mantan Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Kementerian Ketenagakerjaan RI, Sahar Sinurat.
Dalam paparannya, Slamet menyebut secara umum Apindo menyatakan terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 di luar dugaan.
“Apindo yang sedang menunggu untuk dilibatkan pemerintah dalam pembahasan substantif perubahan UU Cipta Kerja sebagai tindak lanjut putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, cukup surprise dengan terbitnya Perppu tersebut. Namun, dunia usaha dapat memahaminya untuk menjamin kepastian berusaha,” katanya.
Meski begitu, APINDO dan unsur asosiasi usaha lainnya memerlukan waktu untuk memahami PERPPU 2/2022 secara komprehensif.
Disebabkan dokumen PERPPU setebal lebih dari seribu halaman dengan cakupan 10 klaster. “Saat ini APINDO secara khusus mencermati substansi PERPPU untuk klaster ketenagakerjaan, tanpa mengabaikan klaster klaster lainnya.”
Hal tersebut mengingat klaster ketenagakerjaan yang sangat luas mendapat perhatian berbagai pihak, dan juga klaster yang menjadi fokus perhatian utama aktivitas APINDO.
Hasil kajian sementara pada klaster Ketenagakerjaan diketahui PERPPU berubah secara substansial. Formula penghitungan Upah Minimum (UM) yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu memberatkan dunia usaha mengingat UU Cipta Kerja hanya mencakup 1 (satu) variabel yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
“Pengaturan Alih Daya juga diubah yang menyebutkan bahwa Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya, yang dikhawatirkan kembali ke spirit UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,” jelasnya.
Mengenai alih daya, APINDO melihat yang diperlukan adalah terciptanya ekosistem yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor menciptakan lapangan kerja.
“Maka pembatasan alih daya justru akan membuat tujuan tersebut sulit dicapai,” katanya.
Sementara Formula Upah Minimum (UM) dalam PERPPU akan menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja karena UM Indonesia berpotensi menjadi yang tertinggi di ASEAN dalam 5 (lima) tahun mendatang.
“Dalam kondisi penciptaan lapangan kerja yang semakin menurun berdasar data dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) di mana dalam 7 (tujuh) tahun terakhir daya serap pekerja turun tidak sampai 1/3 nya, kebijakan kenaikan UM berdasar formula PERPU akan semakin membebani dunia usaha,” kata Slamet.
Proyeksi yang dilakukan APINDO dengan mengolah dari berbagai sumber menunjukkan bahwa di tahun 2025 UM di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN.
Perubahan substantif tersebut harus diletakkan dalam konteks reformasi ekonomi struktural untuk penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.
Dalam perspektif dunia usaha, tujuan diterbitkannya UU Cipta Kerja adalah untuk kemudahan penciptaan lapangan kerja agar masyarakat memiliki daya beli yang berkontribusi mengurangi kemiskinan.
Pemerintah diharapkan menimbang dengan cermat kemampuan membayar perusahaan, secara khusus usaha padat karya serta keterbatasan ketrampilan sumber daya manusia yang masih didominasi tenaga kerja dengan keterampilan rendah.
Pembebanan biaya tenaga kerja yang melebihi kemampuan perusahaan untuk membayarnya akan melanggengkan tidak terpenuhinya ketaatan terhadap regulasi dan dapat menyebabkan dunia usaha terjebak untuk beroperasi secara informal.
Pelaku usaha mengharapkan dilibatkan secara aktif dalam penyusunan PP. Aturan operasional yang akan dituangkan dalam PP menunjukkan fleksibilitas yang diperlukan pemerintah untuk antisipasi menghadapi dinamisnya perubahan bidang ketenagakerjaan sesuai tuntutan perkembangan industri dalam hal teknologi, kondisi kerja dan ketrampilan kerja dalam kaitannya dengan pengupahan, pekerja alih daya dan sebagainya.
“Pelibatan secara bermakna sebagaimana diperintahkan dalam UU Penyusunan Peraturan Perundang-undangan sangat diharapkan APINDO dalam penyusunan sejumlah PP yang diamanatkan PERPPU,” Slamet menambahkan.
Melalui proses tersebut diharapkan dapat mengadopsi berbagai pandangan stakeholder terkait. Klaster diluar Ketenagakerjaan meskipun sepintas tidak banyak perubahan mendasar namun perlu dicermati lebih lanjut.
APINDO belum sepenuhnya menelaah secara mendalam atas klaster klaster lainnya dalam PERPPU, meskipun demikian beberapa perubahan penting teridentifikasi beberapa hal. Di antaranya pengaturan terkait sertifikasi halal yang semula terpusat di MUI Pusat, PERPU memberikan kewenangan ke provinsi dan kabupaten/kota yang menurut APINDO dalam implementasinya perlu kajian mendalam berdasar analisis manfaat (benefit) dan biayanya (cost).
Dalam hal Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), APINDO mendukung: sertifikasi pengurus Koperasi, perlunya dewan pengawas untuk koperasi besar untuk pembinaan/pengembangan kapasitas agar mengurangi risiko kegagalan, pembiayaan/insentif untuk pelaku inkubasi UMKM, dan bimbingan pemerintah untuk informasi dan akses pasar dalam penyerapan alokasi pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat dan daerah.
Sementara itu dalam klaster Kawasan Ekonomi dan Perindustrian secara umum tidak ada perubahan.
Dalam kesempatan ini APINDO mengharapkan adanya konsistensi implementasi RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Digital yang sampai saat ini masih belum diterapkan oleh banyak daerah.
Slamet berharap Pemerintah dan DPR menyikapi PERPPU tersebut secara bijak dan tidak terdistorsi dengan agenda politik.
Sebagaimana ketentuan ketatanegaraan, PERPPU akan dibahas dalam Sidang DPR dalam kesempatan pertama, maka dunia usaha mengharapkan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan pembangunan secara menyeluruh sejalan dengan agenda reformasi ekonomi struktural.
“Sangat diharapkan keputusan tersebut tidak terdistorsi untuk kebutuhan populis kepentingan agenda siklus kepemimpinan lima tahunan,” pungkasnya.