Staf Ahli Menaker Ruslan Irianto Simbolon duduk paling kanan, ketika mengunjungi Graha Apindo Kaltim di Balikpapan. /dokumentasi
APINDOKALTIM.COM – Pembahasan klaster ketenagakerjaan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akan dilanjutkan kembali pekan ini. Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja bidang Hubungan Antar Lembaga, Ruslan Irianto Simbolon mengatakan, masing-masing unsur tripartit diharapkan menyampaikan perwakilan yang akan duduk dalam tim besar.
“Tim ini yang nantinya akan membahas kembali klister ketenagakerjaan,” kata Irianto, saat dihubungi belum lama ini. Pekan lalu, Doktor Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia ini mengatakan sudah ada kesepakatan antar unsur tripartit.
“Pekan lalu Ibu Fauziah (Menteri Tenaga Kerja), hadir dalam pertemuan bersama unsur tripatit,” kata dia. Unsur tripartite yang dimaksud ialah para presiden dan ketua umum serikat pekerja dan serikat buruh, ketua umum Kadin, ketua umum Apindo dan jajaran pengurusnya.
“Kesepakatannya akan dilakukan pembahasan kembali mengenai lima poin penting klaster ketenagakerjaan, dari RUU Cipta Kerja,” ujarnya. Durasi pembahasan triparit, akan dilakukan secepatnya, dan hasilnya diharapkan dalam satu bulan, “atau melihat situasi dan kondisi. Yang penting nanti ada kesekapatan mengenai subtansi.” Tim besar akan melakukan pembahasan dari awal, karena selama ini belum melibatkan serikat pekerja dan serikat buruh.
PANDANGAN APINDO
Dewan Pimpinan Pusat APINDO berpandangan tanpa klaster Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja akan menyebabkan lima hal:
Pertama, Semakin kecil peluang untuk menarik investasi padat karya (produksi masal dengan teknologi rendah: TPT, Sepatu, Elektronik, Mamin, dan lain-lain) yang masih sangat diperlukan Indonesia mengingat kualitas SDM yang ada (57,5% lulusan SD dan SMP, 30% lulusan SMA/SMK, hanya 12,4% lulusan Diploma dan Sarjana) dan tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi yaitu 7 juta orang, belum termasuk setengah pengangguran yang bekerja hanya beberapa jam seminggu.
Kedua, UU Cipta Kerja hanya menarik untuk industri Padat Modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana terlihat dari data BKPM, di mana investasi naik namun penciptaan tenaga kerja justru turun dalam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2018 setiap Rp1 triliun investasi hanya menyerap 1.277 tenaga kerja, ini jauh menurun dibanding tahun 2013 di mana setiap Rp1 triliun investasi menyerap 4.594 tenaga kerja walaupun total investasi meningkat 2.7 kali dari Rp398.3 triliun tahun 2013 menjadi Rp809.6 triliun pada tahun 2019.
“Dengan demikian dapat dilihat bahwa investasi yang masuk mayoritas industri padat modal yang memerlukan pekerja dengan skill yang tinggi, sehingga pencari kerja dengan skills rendah yang masih merupakan mayoritas pencari kerja akan sulit mendapatkan pekerjaan,” tulis rilis APINDO yang ditandatangani oleh Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani, beserta pengurus APINDO lainnya.
Ketiga, Kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus semakin menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah. Hal ini dapat dilihat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial 2019, yaitu penerima subsidi yakni pelanggan listrik 98.6 juta orang (37.2% dari jumlah penduduk 265 juta orang) serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan 96.8 juta orang (36.5% dari jumlah penduduk).
“Bila hal ini dibiarkan terus maka Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi namun malah akan menghadapi beban demografi, karena rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal,” tulis pernyataan APINDO.
Keempat, Perusahaan Padat Karya saat ini dan mendatang akan terus disibukkan dengan dispute ketenagakerjaan antara Manajemen yang berhadapan dengan Pekerja dan Pemerintah dalam menegosiasikan upah yang melampaui kemampuannya untuk membayar sehingga usaha berlangsung tidak produktif. Demikian juga halnya dengan biaya pesangon yang tinggi mengakibatkan tingkat kepatuhan rendah yang menyebabkan dispute berkepanjangan yang menguras waktu dan perhatian untuk mengembangkan usaha.
Kelima, UU Cipta Kerja tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibiltas waktu kerja berbasis mingguan, harian bahkan per-jam yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permanent part-timer, di mana seorang pekerja bekerja di lebih dari satu badan usaha di waktu yang sama sebagaimana terjadi di era industri 4.0.